Advokat, Mediator, Konsultan Pajak, Managing pada Law Firm AKA & Associates
Pendahuluan
Sektor minyak dan gas bumi (migas) merupakan salah satu sektor strategis yang memiliki peranan vital dalam perekonomian nasional Indonesia. Mengingat pentingnya sektor ini, negara memberikan pengaturan khusus terhadap kegiatan usaha migas, termasuk dalam hal penegakan hukum pidana. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU Cipta Kerja) membawa perubahan signifikan dalam pengaturan hukum pidana di bidang migas, khususnya melalui Pasal 40 angka 9.
Artikel ini akan menganalisis penerapan ketentuan pidana dalam sektor migas berdasarkan regulasi terbaru tersebut, serta mengkaji kedudukan hukum pihak-pihak yang terlibat dalam tindak pidana migas ditinjau dari perspektif penyertaan (deelneming) sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Tinjauan Umum Regulasi Migas dalam UU Cipta Kerja
UU Cipta Kerja merupakan omnibus law yang mengubah dan menyederhanakan berbagai regulasi sektoral, termasuk di bidang minyak dan gas bumi. Pasal 40 angka 9 UU No. 6 Tahun 2023 mengatur perubahan terhadap ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, khususnya dalam aspek ketentuan pidana.
Perubahan ini dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif, meningkatkan kepastian hukum, serta memperkuat penegakan hukum terhadap pelanggaran di sektor migas. Regulasi yang diperbarui mencakup berbagai aspek, mulai dari perizinan, kegiatan usaha hulu dan hilir, hingga sanksi pidana bagi pelaku pelanggaran.
Ketentuan Pidana dalam Sektor Migas
Berdasarkan ketentuan dalam UU Migas yang telah diubah melalui UU Cipta Kerja, terdapat beberapa kategori tindak pidana di bidang migas, antara lain:
1. Tindak Pidana Melakukan Kegiatan Usaha Tanpa Izin
Setiap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan usaha hulu (eksplorasi dan eksploitasi) atau kegiatan usaha hilir (pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga) tanpa izin yang sah dari pemerintah dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini mengingat kegiatan migas adalah kegiatan yang dikuasai oleh negara dan memerlukan pengawasan ketat.
2. Tindak Pidana Pengangkutan dan Niaga BBM Tidak Sesuai Ketentuan
Pengangkutan dan perdagangan bahan bakar minyak (BBM) yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk penimbunan, pengoplosan, atau distribusi ilegal, merupakan tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana penjara dan denda.
3. Tindak Pidana Perusakan Instalasi Migas
Perbuatan yang merusak, mengganggu, atau membahayakan kegiatan usaha migas dan instalasi migas juga dikategorikan sebagai tindak pidana dengan ancaman sanksi yang cukup berat mengingat dampaknya yang dapat merugikan negara dan membahayakan keselamatan umum.
4. Tindak Pidana Pencurian Minyak (Illegal Tapping)
Pencurian minyak dari pipa atau instalasi migas merupakan tindak pidana serius yang merugikan negara dalam jumlah besar. Praktik illegal tapping ini sering melibatkan jaringan terorganisir dan merupakan prioritas penegakan hukum di sektor migas.
Sanksi Pidana dalam Pasal 40 Angka 9 UU No. 6 Tahun 2023
Sanksi pidana yang diatur dalam ketentuan migas hasil perubahan UU Cipta Kerja umumnya berbentuk pidana kumulatif, yaitu pidana penjara dan denda. Hal ini menunjukkan keseriusan pembuat undang-undang dalam memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana di sektor migas.
Ancaman pidana yang diatur bervariasi tergantung pada jenis pelanggaran, dengan pidana penjara dapat mencapai beberapa tahun dan denda hingga miliaran rupiah. Pidana denda yang tinggi dimaksudkan untuk memberikan efek jera khususnya terhadap badan usaha yang melakukan pelanggaran.
Selain pidana pokok, dimungkinkan pula penerapan pidana tambahan berupa perampasan aset atau keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, pencabutan izin usaha, serta kewajiban membayar ganti rugi kepada negara.
Konsep Penyertaan dalam Hukum Pidana
Pasal 55 Ayat (1) KUHP mengatur tentang penyertaan (deelneming) dalam tindak pidana. Ketentuan ini penting untuk dipahami dalam konteks tindak pidana migas karena seringkali kejahatan di sektor ini melibatkan banyak pihak dengan peran yang berbeda-beda.
Pasal 55 Ayat (1) KUHP menyatakan:
"Dipidana sebagai pembuat (dader) suatu perbuatan pidana:
- Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
- Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan."
Dari rumusan tersebut, dapat diidentifikasi beberapa bentuk penyertaan:
1. Pleger (Pelaku Langsung)
Pleger adalah orang yang secara langsung melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Dalam konteks tindak pidana migas, pleger adalah orang yang secara fisik melakukan perbuatan, misalnya yang langsung membuka kran pipa untuk mencuri minyak, atau yang mengoperasikan SPBU ilegal.
Untuk dapat dikategorikan sebagai pleger, seseorang harus memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang dilakukan, baik unsur objektif (perbuatan fisik) maupun unsur subjektif (kesengajaan atau kealpaan).
2. Doen Pleger (yang Menyuruh Melakukan)
Doen pleger adalah orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana. Konsep ini memerlukan adanya alat (instrument) yang digunakan oleh pembuat untuk melakukan tindak pidana. Alat ini dapat berupa orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (misalnya anak di bawah umur atau orang dengan gangguan jiwa) atau orang yang melakukan perbuatan tanpa kesalahan (zonder schuld).
Dalam praktik tindak pidana migas, doen pleger dapat berupa pimpinan perusahaan yang memerintahkan karyawannya untuk melakukan kegiatan ilegal dengan mengeksploitasi ketidaktahuan karyawan tersebut terhadap ketentuan hukum yang berlaku.
3. Medepleger (yang Turut Serta Melakukan)
Medepleger adalah bentuk penyertaan di mana dua orang atau lebih secara bersama-sama melakukan tindak pidana. Untuk dapat dikategorikan sebagai medepleger, harus terdapat kerja sama yang erat (nauwe samenwerking) dan kesadaran untuk bekerja sama (bewuste samenwerking) di antara para pelaku.
Dalam kasus tindak pidana migas, medepleger sering terjadi dalam praktik pencurian minyak yang melibatkan beberapa orang dengan pembagian tugas, misalnya satu orang mengamankan lokasi, satu orang membuka kran pipa, dan satu orang lagi mengangkut hasil curian.
4. Uitlokker (Penganjur)
Uitlokker adalah orang yang dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana melalui cara-cara yang disebutkan dalam Pasal 55 Ayat (1) ke-2 KUHP, seperti memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan, kekerasan, ancaman, penyesatan, atau memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.
Dalam konteks migas, uitlokker dapat berupa cukong atau investor gelap yang menggerakkan orang lain untuk melakukan pencurian minyak atau menjalankan usaha migas ilegal dengan menjanjikan keuntungan finansial atau memberikan modal dan sarana.
Penerapan Penyertaan dalam Tindak Pidana Migas
Dalam praktik penegakan hukum pidana di sektor migas, konsep penyertaan sangat relevan mengingat kompleksitas dan keterlibatan banyak pihak dalam kejahatan di sektor ini. Beberapa contoh penerapannya:
Kasus Pencurian Minyak Berjamaah
Dalam kasus pencurian minyak dari pipa Pertamina yang melibatkan banyak pelaku, dapat diterapkan konsep medepleger terhadap para pelaku yang secara bersama-sama melakukan pembobolan pipa, pengangkutan, dan penjualan hasil curian. Masing-masing pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban penuh atas tindak pidana tersebut, meskipun perannya berbeda-beda.
Kasus SPBU Ilegal dengan Struktur Organisasi
Dalam kasus pendirian dan pengoperasian SPBU ilegal yang melibatkan pemilik modal, pengelola, dan operator lapangan, dapat diterapkan berbagai bentuk penyertaan:
- Pemilik modal yang mendanai dan menginstruksikan pendirian SPBU dapat dikategorikan sebagai doen pleger atau uitlokker
- Pengelola yang merencanakan dan mengkoordinir operasional dapat dikategorikan sebagai medepleger
- Operator lapangan yang menjalankan kegiatan sehari-hari dapat dikategorikan sebagai pleger atau medepleger
Kasus Pengoplosan BBM dalam Jaringan
Praktik pengoplosan BBM subsidi yang melibatkan oknum distributor, pengelola SPBU, dan pihak ketiga sebagai penyalur, menunjukkan adanya kerja sama yang terstruktur. Dalam kasus ini:
- Oknum distributor yang menyediakan BBM subsidi di luar kuota dapat dikategorikan sebagai medepleger atau uitlokker
- Pengelola SPBU yang melakukan pengoplosan merupakan pleger atau medepleger
- Pihak ketiga yang memfasilitasi atau menyediakan tempat dapat dikategorikan sebagai pembantuan (Pasal 56 KUHP)
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Migas
Dalam UU Migas sebagaimana telah diubah, dikenal pula konsep pertanggungjawaban pidana korporasi. Hal ini penting mengingat kegiatan usaha migas umumnya dilakukan oleh badan usaha atau korporasi.
Korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila tindak pidana dilakukan oleh orang-orang yang memiliki hubungan hukum dengan korporasi, baik sebagai pengurus maupun yang memiliki fungsi lain, dan tindakan tersebut dilakukan dalam lingkup usaha korporasi, untuk kepentingan korporasi, atau berdasarkan kebijakan korporasi.
Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi umumnya berupa pidana denda dengan pemberatan, serta pidana tambahan seperti pencabutan izin usaha, perampasan aset, atau pengumuman putusan hakim.
Dalam hal korporasi melakukan tindak pidana, pengurus yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu, atau keduanya, dapat dipidana. Hal ini sejalan dengan konsep penyertaan, di mana pengurus dapat dikategorikan sebagai doen pleger atau medepleger dalam tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Pembuktian dalam Penyertaan Tindak Pidana Migas
Pembuktian penyertaan dalam tindak pidana migas memiliki tantangan tersendiri, terutama dalam membuktikan unsur kesengajaan dan kerja sama di antara para pelaku. Beberapa hal yang perlu dibuktikan:
Untuk Pleger:
- Perbuatan fisik yang dilakukan
- Kesengajaan melakukan perbuatan
- Terpenuhinya seluruh unsur tindak pidana
Untuk Doen Pleger:
- Adanya perintah atau suruhan
- Alat yang digunakan memenuhi kriteria (tidak dapat dipertanggungjawabkan atau tanpa kesalahan)
- Kesengajaan pembuat untuk menggunakan alat
Untuk Medepleger:
- Adanya kerja sama yang erat (nauwe samenwerking)
- Kesadaran untuk bekerja sama (bewuste samenwerking)
- Kontribusi nyata dalam pelaksanaan tindak pidana
Untuk Uitlokker:
- Adanya upaya penganjuran dengan cara-cara yang disebutkan dalam undang-undang
- Kesengajaan untuk menggerakkan orang lain
- Tindak pidana yang dianjurkan benar-benar dilakukan
Alat bukti yang dapat digunakan meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat (dokumen perizinan, kontrak, transfer uang), petunjuk, dan keterangan terdakwa. Dalam era digital, bukti elektronik seperti komunikasi via aplikasi pesan atau email juga dapat menjadi alat bukti yang sangat penting.
Kendala dalam Penegakan Hukum Pidana Migas
Penegakan hukum pidana di sektor migas menghadapi berbagai kendala:
1. Kompleksitas Modus Operandi
Pelaku kejahatan migas sering menggunakan modus yang canggih dan terorganisir, melibatkan banyak pihak dengan peran yang tersamar, sehingga sulit mengidentifikasi dan membuktikan keterlibatan masing-masing pihak.
2. Keterbatasan Sumber Daya Penegak Hukum
Penegakan hukum di sektor migas memerlukan pengetahuan khusus tentang industri migas, yang tidak selalu dimiliki oleh aparat penegak hukum. Selain itu, keterbatasan sarana dan prasarana juga menjadi kendala.
3. Jaringan Kejahatan yang Terstruktur
Banyak kejahatan migas melibatkan jaringan yang luas dan terorganisir, bahkan melibatkan oknum aparat atau pejabat, sehingga penyidikan dan penuntutan menjadi lebih sulit.
4. Kerugian Negara yang Sulit Dihitung
Menghitung kerugian negara akibat tindak pidana migas, terutama dalam kasus pencurian minyak atau kegiatan ilegal jangka panjang, memerlukan audit dan perhitungan yang kompleks.
Upaya Optimalisasi Penegakan Hukum
Untuk mengoptimalkan penegakan hukum pidana di sektor migas, diperlukan beberapa upaya:
1. Peningkatan Kapasitas Penegak Hukum
Pelatihan khusus bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim mengenai karakteristik industri migas dan modus kejahatan di sektor ini sangat diperlukan.
2. Penguatan Koordinasi Antar Lembaga
Koordinasi yang baik antara kepolisian, kejaksaan, pengadilan, instansi terkait seperti SKK Migas, Kementerian ESDM, dan perusahaan migas akan mempercepat proses penegakan hukum.
3. Pemanfaatan Teknologi
Penggunaan teknologi untuk monitoring, deteksi dini, dan pengumpulan bukti digital dapat meningkatkan efektivitas penegakan hukum.
4. Pemberatan Sanksi dan Efek Jera
Penerapan sanksi yang tegas dan konsisten, termasuk perampasan aset hasil kejahatan, akan memberikan efek jera kepada calon pelaku.
5. Perlindungan Saksi dan Pelapor
Sistem perlindungan yang memadai bagi saksi dan whistleblower akan mendorong lebih banyak orang untuk melaporkan kejahatan di sektor migas.
Kesimpulan
Penerapan hukum pidana di bidang minyak dan gas bumi berdasarkan Pasal 40 angka 9 UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menjaga kepentingan nasional di sektor strategis ini. Ketentuan pidana yang diatur mencakup berbagai bentuk pelanggaran, dari kegiatan usaha tanpa izin hingga pencurian minyak, dengan ancaman sanksi yang cukup berat.
Dalam konteks pertanggungjawaban pidana, konsep penyertaan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Ayat (1) KUHP sangat relevan diterapkan mengingat kejahatan di sektor migas seringkali melibatkan banyak pihak dengan peran yang berbeda-beda. Setiap pihak yang terlibat, baik sebagai pelaku langsung (pleger), yang menyuruh melakukan (doen pleger), yang turut serta melakukan (medepleger), maupun penganjur (uitlokker), dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sesuai dengan peran dan kontribusinya dalam tindak pidana.
Pemahaman yang komprehensif tentang ketentuan pidana migas dan konsep penyertaan sangat penting bagi penegak hukum, praktisi hukum, pelaku usaha, maupun akademisi untuk memastikan penegakan hukum yang efektif dan berkeadilan di sektor migas. Optimalisasi penegakan hukum memerlukan sinergi antara regulasi yang jelas, kapasitas penegak hukum yang memadai, koordinasi antar lembaga yang solid, serta dukungan teknologi dan sistem yang mendukung.
Dengan penegakan hukum yang konsisten dan berkeadilan, diharapkan sektor migas dapat berkembang secara berkelanjutan, memberikan manfaat maksimal bagi kesejahteraan rakyat, dan terlindungi dari berbagai bentuk kejahatan yang merugikan kepentingan nasional.
Daftar Pustaka
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
- Moeljatno. (2008). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta
- Lamintang, P.A.F. (2013). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti
- Chazawi, Adami. (2011). Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3: Percobaan dan Penyertaan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
- Hamzah, Andi. (2014). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta
.jpg)